First Journey --> Bhumi Ngayogyakarta (Part 1)


Two years target à traveling sendiri!
Dan first destination, Jogja, Bhumi Ngayogyakarta.
Berawal dari promo tiket murah Air Asia setahun yang lalu (hahaha, lama bener yak?) bayangkan, Rp 150.000 sudah menjangkau Kota Pelajar melalui udara?!! Perjalanan yang sungguh sangat dinanti-nanti. Sudah eneg juga sepertinya sama “Desa Raksasa” ini. Namun tiket berangkat gak bisa digunakan, karena menurut jadwal sebenarnya saya berangkat Jumat pagi, namun berhubung ada Closing Audit, jadilah saya ke kota pelajar ini malam hari nya menggunakan kereta api.

Di Stasiun
Naek kereta api pertama keluar kota sendiri dengan tarif Bisnis. Menurut saya ini pengalaman menarik. Yakin bahwa saya akan menamukan sesuatu di sini. Kereta api ekonomi dan bisnis kalau di Jakarta melalui stasiun-stasiun kelas 2. Dan inilah saya, di Stasiun Senen, waktu itu hujan lebat! 
Orang pertama yang saya ajak berkenalan adalah seorang cewek asal Magelang, namanya Ririn. Dia alumni UGM sekarang di Telkomsel, asik bgt ngobrol ngalur ngidul (kenalan awalnya karena pinjem charger). Sampai ke tuker2an pin blackberry, dan sampai sekarang masih berteman baikJ. Saya gak satu kereta dengan Ririn, dia naek Senja Jogja, sedangkan saya Senja Solo (Karena Senja Jogja habisL) jadinya Ririn berangkat duluan ke Jogja, saya? Mencari mangsa berkenalan baru. Dan dapet! Cowok, tampang kyak tentara, dia ternyata pekerja asal purwokerto. Sudah 2thn bolak-balik Jakarta-kampungnya sebagai pekerja bangunan, namun baru tetap 2 bulan setelah dia diterima di salah satu pabrik besi di Jakarta, daerah Priok. Dan apa yang saya lihat? Hp blackberry Onyx di tangannya. WOW! 2 bulan kerja demi Blackberry? Keren!

Di Kereta Api
Ternyata kereta api bisnis g sejelek yang saya sangka, kursi lumayan empuk meskipun jarak antara kursi sendiri dengan kursi depan tidak terlalu lebar, sehingga kaki tidak leluasa. 
Awalnya samping saya kosong, sampai Stasiun Jatinegara. Seorang cowok, item tapi bersih yang jadi teman saya. Kita ngobrol2 selama perjalanan, dia asli Aceh, namun kuliah di Solo. Dan sekarang mau menuju Solo. Obrolan kami nyambung, nyambung banget. Dia suka travelling, ke Lombok, Malang, Medan, Sulawesi pernah dia sambangi. Dia juga menceritakan mengenai masa kecil dia di Aceh. Cerita saat Aceh masih berstatus DOM. Di mana suara tembakan menjadi sahabat dia waktu kecil. Dari cerita Aceh, kami nyambung ke kerjaan, saya dengan perusahaan kebanggaan saya, dan dia dengan PPS BRI nya dan segala teori mengenai perbankan (oh great, saya banyak belajar mengenai loan, landing, funding dsb malam itu) sampai kami berdua kecapek’an dan ketiduran.
Saya terbangun waktu kereta sampai di stasiun Cirebon. Para pedagang kopi dan nasi mulai berteriakan menjajakan dagangannya. Dalam hati sejujurnya saya berpikir, alangkah bahagianya hidup saya dibandingkan mereka. Saya bebas beli apa yang bagi mereka adalah sebuah kemewahan, saya bisa nyenyak tidur saat mereka mengais beberapa ribu rupiah. Dan saya bisa tidur nyenyak di kamar yang ber AC dengan bed cover menutupi seluruh tubuh saya sedangkan mereka memakai alas kardus bekas. L terus terang, setelah kejadian ini, saya tidak nyenyak tidur. Sampai setibanya di Stasiun Tugu Jogjakarta pukul 05.00 am.

Pagi di Malioboro
Stasiun Tugu gak terlalu jauh dari Malioboro. Saya ingin menikmati suasana Malioboro pagi hari. 
Rencananya saya menunggu temen kuliah, Firman Octo Armando, sekarang menjadi auditor BRI yang ditempatkan di Jogja. Rencananya saya nunggu dia untuk pinjem charger bb yang kelupaan dibawa J Mando (Panggilannya) baru bisa datang sekitar pukul 7.00. jadilah saya muter2 sendiri, beli sarapan pecel lesehan, pulsa, kopi di Circle K malioboro dan mbecak keliling kraton dan Malioboro. Bukan suatu yang aneh di Jogja jika kita mbecak dengan jarak yang jauh hanya dengan Rp 5.000. Syaratnya adalah mampir di pusat dagadu dan pusat bakpia pathok. Namun saya tidak memilih paket ini, karena saya hanya ingin menikmati Jogja, bukan berbelanja. Jadilah saya berkeliling Jogja menggunakan becak dengan harga Rp 25.000. selama perjalanan si Bapak Becak bercerita macam2, mengenai Sultan yang baru Mantu, Jogja pas rame-rame nya, dan alasan si Bapak-Bapak Becak sedikit memaksa penumpangnya untuk mampir (meskipun tidak membeli) ke toko-toko kaos dagadu dan bakpia. Yaitu demi mendapat bingkisan lebaran. Hehe. Jadi mereka kerja sama gt, mereka bawa calon pembeli, si toko ngasih bingkisan. Hanya bingkisan.
Selesai berkeliling, saya menunggu Mando di depan Benteng Vedebrug. Bertemu dengan seorang Bapak yang mengaku alumni UGM dan kakak tingkat Andi Malarangeng. Beliau sangat ramah, bercerita mengenai Jogja saat ini. Perilaku remaja-remajanya yang hanya nongkrong, dan penurunan kualitas mahasiswa UGM yang dia elu2kan. Kami ngobrol sampai si Mando datang. Kami ngobrol sedikit karena dia harus lembur dan ke kantor. Jadilah transaksi peminjaman charger itu. Dia balik balik ke kosannya untuk siap-siap ke kantor, saya mencari2 kost2an kakak sepupu saya yang entah berada di mana. Kos2an Kakak sepupu saya berada di sekitar UGM, saya ngojek kesananya, sempet was2, karena Mas Ojeknya g begitu paham daerah UGM. Namun dia sangat tulus membantu. Turung berkali2 untuk menanyakan daerah yang saya maksud. Asumsi kotor tetap tersimpan di otak saya. Namun berkali-kali pula saya menginatkan diri bahwa ini bukan Jakarta, tapi ini Jogja. J dan Alhamdulilah, nyampe juga. Terima kasih Mas Ojek. Mulailah sesi curhat2an dengan Mbak Unca, dan segala Nasehatnya. Haha. (Cont’d)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Minimalism

2017 : My Turning Point

Komposisi Delapan Cinta - Kau Angin