Posesif (Film Review)


Ketika pertama kali mendengar tentang proyek film ini, terus terang saya amat sangat tertarik. Udah nebak sih jalan ceritanya bakal kyak gimana, apalagi ketika tahu kalo film ini di sutradari oleh Edwin, Salah satu sutradara yang filmnya selalu saya tunggu2. Selama ini kita yang tau dan pernah nonton film Edwin sebelumnya, pasti paham kalo ini film Pop/komersil pertama dia, dan pastinya akan sangat menantikan bakal jadi apa karyanya ini.

Saking penasarannya, ketika novel yang berdasarkan skenario film ini terbit sekitar sebulan sebelum film release bikin saya langsung mampir ke Gramedia dan langsung baca di malam harinya. Seperti diduga sebelumnya, ceritanya tentang "Cinta Monyet" anak SMA gitu deh, plus bagaimana mereka mencari jati diri, mengejar mimpi dan ga afdol jg kalo ga dibumbui dengan persahabatan. Wait, ga cuma itu. Tapi juga tentang hubungan dengan keluarga yang dapat membentuk kepribadian setiap manusia yang ada di dalamnya. Bagian terakhir inilah yang membuat proyek ini ga cuma menjadi proyek tentang cinta monyet, melainkan proyek yang membawa pesan lebih dari itu. 

Dengan background Sutradara dan novel yang sudah saya baca, tanggal 27 Oktober, saya datang ke bioskop dengan ekspektasi yang tinggi. Sangat tinggi tepatnya. Seiring diputarnya film, perasaan saya kagum, bete, sebel, ngeri, dan amazed. Oke, saya akan mulai.

Ada 3 hal yang menurut saya menjadi kekuatan film ini. Pertama, Acting Pemain. Kedua, simbol2 yang ada di filmnya. Ketiga, Penyuntingan gambarnya. Untuk acting pemain, credit lebih saya kudu sampaikan pada Adipati Dolken. Jujur, saya ga terlalu demen sebenernya dengan film-film dia sebelumnya, terlalu pop dan kurang mengeksplore kemampuan actingnya, tapi di sini, saya amazed banget! Ekspresi wajahnya ketika membawa adegan kengerian bener-bener nyampe ke penonton. He deserve a Citra this year! Putri marino pun sanggup mengimbanginya. Kesan anak SMA di pemilihan kostum dan gesture nya bikin adem. Effort dia untuk belajar loncat indahpun perlu diapresiasi. Deretan supporting actor and actress, emang ga salah deh diberikan ke Cut Mini dan Yuyu Unru. Notes perlu saya sampaikan untuk Cut Mini, menurut saya udah bagus sih, tapi akan lebih bagus lagi kalo diberikan timing yang lebih, agar atmosphere thrillernya lebih terasa lagi hehehe.

Apa yang membuat film ini Edwin banget! simbol2 di sana. Pemilihan "Dan..." dari Sheila on 7, "Teralih" dari Matter Helo, "No One cant stop us" dari Dipha Barus dan "Sampai Jadi Debu" dari Banda Neira sebagai soundtrack dan cara memasukkan lagu2 tersebut bikin berdecak kagum. Pas banget dengan adegan yang ingin ditampilkan. Khususnya ketika Dan dari Sheila on 7, duh! ini Edwin banget!!! ngingetin saya pada moment ketika lagu "I just called to say i love you" dari Stevie Wonder di film "Babi Buta yang ingin Terbang". Meaningfull banget! Selain itu, cara pengambilan gambar juga keren abis. Ketika terjadi dialog antara 2 orang, pihak yang berbicara di fokuskan, sedangkan pihak lain ditempatkan membelakangi kamera, hal ini menyebabkan penonton dibawa menjadi pihak kedua tadi. So, pesan yang disampaikan akan lebih masuk gitu. Pengambilan zoom out zoom in pun dan sinematografi yang disajikan pun berasa keren bangetttt!!!! Ah, di sisi ini saya salut banget deh pokoknya. Dialog yang ditampilkan pun patah-patah namun ngena. Bener-bener ga salah bisa masuk ke dalam 10 nominasi FFI 2017, dluar kontroversinya film ini layak di posisi tersebut! Paling ga, saya menjagokan di 3 hal di sini. Aktor terbaik, Penyunting Gambar terbaik, dan Sutradara terbaik. Bahkan jujur saya lebih milih film ini sbg Film Terbaik drpd nominee yang lainnya hehehe.

Bukan berarti film ini ga ada kekurangan yah... Di awal film, latar saat membangun percintaan 2 tokoh pun menurut saya agak terburu-buru. Background mengapa Yudhis bisa jatuh cinta ke Lala kurang di eksplore. Padahal untuk Yudhis seharusnya ada alasan lain yang lebih kuat dari "kenapa harus Lala". Satu lagi, entah kenapa film ini masuk ke 13+. Jadinya tanggung. Adegan yang di highlight pun terasa kurang greget. meskipun disela ketidakgregetan ini msih tetep oke yah, cuma kalo lebih di eksplore lagi pasti akan lebih oke, yah konsekuensinya ga bisa masuk ke kategori 13+. Oke, saya menunggu kali aja gitu edisi "dewasa" dari film ini bisa diputer limited di Kineforum atau bioskop limited lainnya. hehehe.

Overall film ini seperti yang saya sampaikan sebelumnya, bukanlah film remaja yang mudah dicerna. Banyak banget ketidaknyamanan yang ditimbulkan setelah menontonnya. Bikin kita resah dan kagum pada saat yang bersamaan. Film ini cocok ditonton untuk seluruh kalangan, khususnya yang masih remaja akankan lebih baik kalo orang tuanya pun mendampingi, karena ya seperti yang saya sampaikan, ini tidak mudah.

Besok atau lusa, mungkin saya berminat untuk menonton film ini kembali, kenapa? karena di totontan pertama saya terganggu dengan penonton-penonton yang berisik sendiri, yang tertawa di adegan yang ga lucu, dan membuat seakan2 film ini menjadi film romansa remaja biasa. Please, jangan norak!

So, mumpung masih ada di Bioskop, nonton Thor boleh, tapi kayaknya kudu ini dulu deh. Thor bakal masih lama tayang. Ini kyaknya setelah 2 minggu sepertinya bakal tergeser perlahan. Jadi selama masih tayang, jangan di sia-siakan. dan please, jangan norak :)


Arillia P Kurniarsih.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Minimalism

2017 : My Turning Point

Komposisi Delapan Cinta - Kau Angin