Setidaknya Mencoba, dan Saya Bangga karena Saya Sudah Mencoba
Dalam hidup, kita sering dihadapkan dengan kondisi yang menuntut kita untuk memilih. Entah jika pilihan yang ada merupakan pilihan mati (Y/N), atau pilihan yang memungkinkan untuk bersikap netral. Dalam menentukan pilihan ini, manusiawi kalau kita ragu. Namun, sampai batas mana kita dapat memberikan ruang untuk ragu ini? pasti setiap manusia akan berbeda-beda. Saya akan memberikan beberapa contoh terkait hal ini.
- Rekan kerja saya, sebut aja namanya A, tidak nyaman dengan kerjaannya sekarang. Baik dengan alasan klise seperti menginginkan finansial yang baik, atau alasan basa-basi seperti mencari lingkungan kerja dan mekanisme kerja yang nyaman untuk dirinya. Namun dia ragu, tidak ada jaminan tempat kerjanya yang baru nanti (jika dia keluar dari tempat lamanya) menawarkan kondisi seperti apa yang dia inginkan. Bisa jadi, kondisi yang dihadapinya nanti akan berdampak lebih buruk dari kondisi yang ada saat ini.
- Sahabat saya (B) meragu, dia adalah tipe manusia yang butuh tantangan. Dia tidak akan nyaman berada di comfort zone dia. Dia ingin mengejar cita-cita ke Jakarta atau kota besar lainnya yang dapat membuatnya hidup. Namun dia juga takut dan mempertanyakan pada dirinya sendiri apakah dia mampu untuk bekerja di sana? ataukah apakah ada perusahaan yang akan menerimanya dan membayar gaji dengan layak dengan kemampuan yang dia miliki?
![]() |
Dokumen : Istimewa |
Atas kedua contoh di atas, terlihat bahwa kedua teman saya ini berada di posisi yang tidak mudah. Ada banyak pertimbangan untuk dapat mengambil keputusan yang bertanggung jawab dan tepat untuk masa depannya. biasanya saya akan menyarankan untuk melaksanakan shalat istiharah (re : shalat untuk memohon petunjuk untuk orang Islam) atau saran lain seperti berkonsultasi dengan sahabat yang lain atau bahkan saudara.
Untuk rekan saya dengan kasus pertama (si A), pada akhirnya dia memutuskan untuk resign dari pekerjaannya saat ini dan bergabung dengan perusahaan lainnya. Ketika saya bertanya mengapa keputusannya seperti itu, dia mengatakan seperti ini, "Kita tidak akan pernah tahu bagaimana kondisi yang akan kita alami, saya memutuskan seperti ini karena saya berkeyakinan tempat baru nanti akan lebih baik dari tempat kerja ini. Padahal itu belum tentu, bisa jadi malah lebih buruk. Namun, setidaknya saya mencoba. Tidak berpangku tangan dengan kondisi yang tidak ideal saat ini dan mengeluh atas ketidaknyamanan yang terjadi. Namun saya mencoba".
Untuk kasus yang kedua, pada akhirnya si B memutuskan untuk tetap stay di comfort zone dia. Berkutat dengan pemikiran dan asumsi bahwa dia tidak memiliki capability yang dapat membuat dia dapat bertahan di Jakarta. Takut bahwa mungkin di tahapannya nanti dia akan gagal dan ragu apakah dia mampu untuk bangkit kembali.
Sekali lagi, setiap orang memiliki dasar pemikiran yang berbeda-beda. Untuk saya pribadi, Saya sangat terhenyak dengan pemikiran si A. Tidak ada yang tahu apa yang terjadi di masa depan kecuali Tuhan. Tidak baik jika kita berkutat pada asumsi yang tidak jelas kebenarannya. Namun, setidaknya saya tidak berdiam diri. Setidaknya saya tidak berpangku tangan. Saya mencari tahu terlebih dahulu. Saya mencoba untuk mencari tahu terlebih dahulu. Saya mencoba. Dan Saya bangga bahwa Saya telah mencoba.
Arillia P Kurniarsih
Komentar