Push Yourself to the Limit (Sumba Trip, 1-5 May 2014)
Tahun ini sebenarnya keinginan jalan-jalan saya cuma satu, mencicipi Indonesia Timur. Namun kita semua tahu, Indonesia timur itu tidak murah. Bahkan bisa dibilang daripada orang ke Indonesia Timur yang "begitu begitu saja" mending ke luar negeri aja sekalian. Gak keren ah kalo jalan-jalannya di Indonesia aja, mahal pulak! mending nambah2 stempel di paspor kan? Gitu kan? saya sih yakin seyakin yakinnya buanyak yang berpikiran seperti itu. Namun, ada yang bilang, Soe Hok Gie deh kalo ga salah. "Bagaimana orang Indonesia tidak mencintai negerinya sendiri kalo dia tidak tahu tentang negerinya?" Hehehe, cukup lah bertuahnya. Intinya sih, sejak dari tahun kemarin saya mengupayakan berbagai cara untuk traveling ke indonesia Timur. Berbagai cara ini bisa dalam merayu-rayu Koord saya di Audit, Mas Reza, supaya dapat kesempatan ke Indonesia Timur atau membujuk berbagai teman untuk bikin schedule kesana. Hahaha Alhamdulilah kesempatan itu datang. Waktu itu travelingnya ke Manado. Budaya, karakter orang, dan karakter daerah yang jauh sangat berbeda dengan Jawa membuat kunjungan ke Manado tidak bisa dilupakan begitu saja. Alam yang "katanya" indah, sebenarnya tidak terlalu membuat takjub, namun yah... cukuplah :)
Kunjungan ke Manado ini tidak menyurutkan niat saya untuk mengunjungi Indonesia Timur yang lain. Namun wilayah yang ingin saya kunjungi tidak segera masuk ke Schedule audit atau bahkan memang tidak ada di list Cabang. hahaha. Selain itu prinsip jalan-jalan yang enak itu ya jalan-jalan yang bebas, tidak menggunakan fasilitas yang ada, dan dengan dana sendiri tetap menggaung di otak saya. Saya semakin memantapkan tekad untuk segera traveling ke Indonesia Timur, bagaimanapun caranya!
Banyak yang bilang, saya rada gila dengan rencana ini. Bahkan saat menyampaikan ke Div Head saya pun tentang cuti ini si Ibu bilang bahwa saya kurang kerjaan. Kenapa sampai begitu? karena saya merencanakan traveling ini seorang diri dengan ikut Tour yang diselenggarakan oleh Backpack Seru, salah satu penyelenggara tour dengan budget minimalis. Selain itu, saya mendaftar ini seorang diri. Tidak peduli siapa yang akan jadi partner saya dan tidak peduli apa yang akan saya hadapai di sana.
Push yourself to the limit menjadi motto saya beberapa bulan ini. Bagaimana kita tahu bahwa kita bisa menghadapi semuanya seorang diri kalo kita tidak mencoba kan? Bagaimana kita tahu bahwa kita bisa survive sebelum kita memang berada di kondisi yang membutuhkan untuk survive? Saya berpikiran bahwa saya ingin ke Indonesia Timur, akan menjadi mimpi yang tidak pernah kesampaian kalo saya tidak mencobanya. Sumba menjadi destinasi saya, kenapa? sebenarnya saya dari dulu memang penasaran dengan Irian, Maluku, Nusa Tenggara (baik Barat maupun Timur). Sumba ini dibilang deket ya pasti tidak dekat. Jauh ya jauh, namun tidak semahal kalo ke Irian atau Maluku kan? selain itu sebagai follower Mira Lesmana di Twitter dan Instagram sungguh gila kyaknya kalo saya ga kepengen ke Sumba karena ybs sedang ada project film di Sumba dan instagramnya itu loh, keren! so, pilihan saya ya Sumba di awal Mei 2014.
Yang namanya ending yang indah itu pasti melewati tahapan yang tidak mudah, begitupun dengan trip ini, haahahaha. Ceritanya hampir sama dengan nonton F1 saat itu di mana ada kasus di Audit terakhir saya yang menyebabkan liburannya hampir gagal, hahaha. Selain itu ada pembatalan dari Anggota tour di mana sebelumnya trip ini akan diikuti oleh 9 orang, namun di akhir-akhir 5 orang mengundurkan schedule trip ke akhir Mei. yang tersisa hanya 4 orang. Saya mencoba mencari tahu anggota tour terakhir based on email terakhir dari Backpack seru. Thanks to Mbah Google, saya menemukan mba Echa di twitter, setelah DM-DM an dan bertukar no telepon, kami tetap memutuskan untuk ikut trip ini dengan penambahan biaya Rp 250rb karena pesertanya diluar target. Alhamduliah, Tuhan selalu mendengarkan doa dari Hambanya :) Jadilah saya pergi beneran ke Sumba!!! Indonesia Timur!!!! I'm Coming!!!
Meskipun judulnya Backpacker, saya memutuskan untuk tidak memakai Backpack melainkan memakai koper. Hahhaa. Kenapa? karena saya males packing. Ngerti sendiri kan kalo pakai Backpack itu kita harus pinter-pinter packingnya, ngegulung2 baju dan lain sebagainya. H-1 sebelum berangkat saya sampai di Kost pukul 10 malam. Karena harus lembur dan ketemuan sama temen, apalagi badan meriang ga jelas gara-gara AC kantor yang duinginnya gila-gilaan. Jadilah Packing pun pukul 04.00 pagi sebelum pergi ke bandara.
Peserta trip ini cuma 4 orang! iya beneran 4 orang. hahaha. Kami pertama bertemu di Bandara Ngurah Rai Denpasar. Waktu itu saya menyapa Mba Echa di Bus transit menuju pesawat yang akan membawa kami ke Sumba. Mba Echa mengenalkan saya dengan peserta trip lain yakni Mba Mia dan Yudi. Mereka sebelumnya pernah beberapa kali trip bersama, apalagi Mba Echa dan Mba Mia, yang memang sudah sahabatan dan sekantor sejak lama. Berbeda dengan saya yang orang kantoran, mereka bertiga freelance gt ceritanya. Kalo saya bilang sih, Traveling memang benar-benar passion mereka. Bahkan si Yudi, berencana membuat travel agent gitu dan menjadikan Sumba sebagai destinasi tour nya, Jadi dianya nyoba dulu gitu sambil bangun relasi. Iriiiiii bgt rasanya untuk traveling mereka tidak bersusah-susah ijin cuti atau lembur untuk menyelesaikan deadline report di H-1 sebelum berangkat. hahaha Iri mulu Ril? :D
Kami sampai di Bandara Tambolaka di Sumba Barat Daya sekitar pukul 12.30 WITA. Dan kami dijemput oleh Tour guide yang bernama Jeffrie dan sopir kami yang bernama Okta. Sejak bertemu pertama, Jeffrie menyampaikan permintaan maaf bahwa mobil tidak ber AC. Kami tidak terlalu mempermasalahkan AC ini karena kalo kami mah seru-seru aja jalan-jalan dengan membuka jendela mobil. Planning kami di hari pertama sedikit di modifikasi di mana di awalnya dari Bandara kami langsung ke resort untuk beristirahat. Namun Jeffrie memutuskan kami ke Rumah Budaya Sumba terlebih dahulu dengan alasan kalo malam tidak ada yang bisa dilihat di sana.
Destinasi Hari 1 :
Rumah Budaya Sumba
Destinasi ini milik seorang Freter yang bernama Freter Robert Ramone yang sangat mencintai budaya sumba. Disini ada Resort, Museum, dan perpustakaan yang berisi buku-buku atau majalah-majalah yang mengangkat mengenai Sumba dan seluruh elemennya.
Setelah dari Rumah budaya Sumba, kami ke Resort. Resort ini bernama Oro Beach Resort. di daerah pantai Oro. Pemiliknya adalah Mama Noni (wanita asli Flores) dan Lukas Wunsch (Pria asli Jerman). Pemiliknya sangat ramah dan senang bercerita. Baik tentang lingkungan di Oro maupun Sumba pada umumnya. Resort ini pas banget menghadap pantai Oro, namun dari Bungalow kami sih tidak terlihat pantainya. Masih harus jalan sebentar (sebentar banget sih :D). Di hari pertama ini, kami beberes di kamar, dan makan siang.
Kampung Oro Suku Lobo
Menurut Jeffrie, kampung ini adalah kampung asli di desa Oro. Masyarakat di sini pun masih tradisional di mana di beberapa waktu yang lalu sempat terjadi keributan yang mengakibatkan adanya korban meninggal. Ketika kami ke sana, kami melihat masyarakatnya sangat ramah dan gampang bercerita. Di sini kami melihat kehidupan mereka yang sederhana dan pekerjaan mereka sambil mengunyah pinang dan sirih.
Pantai Mananga Aba
Setelah beristirahat dan makan, kami menuju ke destinasi berikutnya. Yakni Pantai Mananga Aba. Pemerintah sempat mengubah nama pantai ini menjadi pantai Kita untuk memudahkan penyebutannya seperti Pantai Kuta di Bali/Lombok. Namun masyarakat sini menolaknya. Menurut kami pun penyebutan Mananga Aba sendiri menunjukkan bahwa pantai ini masih asli. Pantai ini panjaaaaangggg sekali. Pasirnya bersih, dan kami merasa seperti pantai milik sendiri. Karena pengunjung di sini cuma kami berempat, Jeffrie, dan anak-anak kecil penduduk setempat. Dan Demi Tuhan! Sunset di sini benar-benar indah. Golden Hour pun sangat congkak menunjukkan keindahannya.
Ada sedikit insiden ketika kami ingin pulang ke Resort, ceritanya Sopir kami si Okta salah parkir sehingga ban mobil kejebak di pasir. Kami kembali ke Resort dijemput oleh Lukas dengan mobil yang berbeda dan kembali ke Resort untuk makan malam dan Istirahat.
Destinasi Hari 2 :
Pantai Pero
Danau Weekuri
Benar-benar hidden paradise. Dari resort menuju ke tempat ini benar-benar tidak mudah. Sekitar 1 jam dan medan yang kami lalui pun juga tidak mulus. Argh sayangnya saya tidak mengabadikan perjalanan menuju sana. Jalan tidak mulus, tidak lebar (hanya cukup untuk 1 mobil) dengan kaca jendela pun harus ditutup karena kalo tidak ilalang akan menyapu muka kami. hahahaha. Namun Demi Tuhan, ini adalah salah satu tempat terindah yang pernah saya kunjungi. Danau air payau yang sangat amat jernih dan memantulkan warna langit yang sangat sempurna. Danau ini adalah danau payau (campuran air asin dan tawar) karena air asinnya berasal dari ceruk bocor dari lautan lepas. Yang membatasi danau ini dengan laut lepas adalah karang yang tinggi dan cukup tajam. Jika teman-teman pernah mengunjungi Pulau Sempu di Malang, danau ini sedikit mirip namun lebih kecil dan lebih jernih.
Pantai Mandorak
Tentang pantai yang ini gimana yaaa... argh! Indah pokoknya. Sebenarnya sih ini laut lepas, yang menerjang tebing tebing gt, cm di sini juga ada mini pantai. Yang membuat istimewa dari pantai ini adalah mini pantainya ini putiiihhhhhh banget dan lautnya pun sukses memantulkan warna langit dengan sempurna. Sama seperti pantai weekuri, pantai inipun aksesnya tidak mudah. Kalau bukan Jeffrie dan Okta yang mengantar, kami yakin ga mungkin sampai ke sini. hahaha
Kampung Adat Wainyapu
Berada di kecamatan Kodi di Sumba Barat Daya, menurut tour guide kami termasuk Desa tertua di mana di sana banyak terdapat kuburan batu yang sudah berusia ratusan tahun. Memasuki perkampungan, mata pengunjung dimanjakan dengan bangunan rumah adat tua yang sama sekali tidak menggunakan logam semacam paku namun masih kokoh menantang langit. Kondisi Sumba yang kering menyebabkan air bersih susah didapatkan di sini. kami datang dengan kondisi cuaca yang sedikit gerimis. Suatu berkah bagi penduduk Sumba.
Kampung Adat Ratenggaro
Sangat berbeda dengan Kampung Wainyapu, Ratenggaro merupakan destinasi wisatawan yang sudah sering dikunjungi dan sudah sangat terkenal di Sumba. Kondisi rumah adat di sini pun jauh lebih bersih dan baru. Pemandangan yang membuat saya "Gila" di kampung Ratenggaro ini adalah perpaduan antara Rumah adat, pantai yang indah, dan padang rumput yang dihuni berbagai binatang ternak seperti Kerbau, Kuda, dan Sapi. Landscape tadi jika dipadukan merupakan pemandangan yang sungguh sangat indah. Selain itu, ada satu rumah adat di Ratenggaro ini yang merupakan rumah adat tertinggi di seluruh Sumba dengan tinggi mencapai 30m. Ada yang sedikit mengganggu di kampung ini, yakni kebiasaan penduduknya (khususnya anak kecil) yang suka meminta uang kepada wisatawan. Mungkin karena sudah jadi destinasi wisata kali ya. Saran Kami? please jangan. Jika ingin memberikan donasi, silahkan diletakkan di buku tamu atau bawalah sirih dan pinang.
Berbeda dengan mayoritas kampung di Sumba, penduduk di wilayah ini beragama Muslim. Tidak terlihat Babi atau anjing yang berkeliaran. Penduduk Pero merupakan penduduk pendatang dari Bugis yang berprofesi sebagai nelayan. Ada dua spot yang kami kunjungi di sini yakni pantai dermaga nelayan dan pantai Pero sendiri. Di Pantai Pero, banyak penduduk yang mencari kepiting di laut. Laut yang sedang surut menampilkan karang yang indah sekali. Namun untuk turun ke pantainya mental saya rada ciut karena karangnya tinggi sekali dan lumayan tajam. Jadinya ya nunggu aja di atas sambil menikmati Sunset.
Destinasi Hari ke 3
Kampung Adat Prai Ijing
Di hari ke 3 ini kami mengunjungi suatu kampung budaya kembali. Yakni Kampung Prai Ijing. Kampung ini tidak terlalu jauh dari kota Waikabubak yakni Ibu kota Kabupaten Sumba Barat. Sudah ada listrik di sana, namun tidak menerangi seluruh rumah, melainkan hanya digunakan di tengah-tengah kampung saja. Selain itu kami masih melihat TV umum yang merupakan sumbangan dari gereja yang digunakan untuk menonton siaran bersama-sama. Ada yang khas dari kampung ini, yakni bentuknya yang seperti gunung jika dilihat dari atas bukit.
Air Terjun Lapopu
Dari kampung adat Prai Ijing ke air terjun Lapopu lumayan jauh, perjalanan kami sekitar 2 jam. AIr Terjun ini masuk ke wilayah Sumba Tengah. Selain itu jalan yang berkelok-kelok membuat sedikit mual. Apalagi Okta menyetir dengan lumayan gila. hahaha. Namun seperti kata saya sebelumnya, untuk mencapai tempat yang indah itu memang tidak mudah. Sesampainya di Lapopu kami kaget karena suasanya sangat sepi bahkan penjaga pun tidak ditempat karena sedang mencari sinyal HP. hahaha. Menuju Air Terjun pun kami melewati jalan setapak yang lumayan licin dan jembatan bambu dengan kapasitas yang lewat maksimal 2 orang. Benar-benar masih alami. Air terjun ini merupakan air terjun bertingkat-tingkat dengan ketinggian 70m. Karena bertingkat ini pula Air terjun ini disebut Niagara kecil. Sesampainya di Air terjunnya, kami yakin tingginya pasti lebih dari 70m. Tinggi Banget! dan indaaahhhhh!!!!
Padang Savana Lamboya
Padang savana ini berada di wilayah selatan Sumba Barat yang memiliki 2 latar yang sangat indah yakni laut selatan dan hamparan sawah. Di setiap Februari/Maret, Lamboya digunakan untuk festival Pasola yakni pertarungan adat penduduk yang menggunakan kuda terbaik dan tombak. Sayangnya periode kunjungan kami tidak di bulan ini. Namun view di sini juga indah, langit biru tanpa awan dan matahari yang bersinar cerah menemani kami untuk mendokumentasikan kubur batu yang berusia tua dan kuda/kerbau yang santai menikmati harinya. Di sini kami banyak menemukan kubur batu yang juga ditemani oleh pohon. Menurut Jeffrie ada filosofinya, yakni tumbuhan diibaratkan sebagai kehidupan, di mana orang-orang Sumba percaya bahwa setelah mati akan ada Kehidupan. Begituuuu....
Private Beach near Marosi
Sudah kesepakatan Kami berempat bahwa kami tidak mau menyebutkan nama pantai yang satu ini. Ini merupakan destinasi tambahan Jeffrie. Akses menuju pantai ini pun tidak terlalu mudah dan tertutup. Karena kelelahan setelah Lapopu dan Lamboya, kami hanya ingin menikmati keindahan pantai ini. Pengunjungnya pun cuma Kami ber4, Jeffrie, Okta, dan anak-anak sekitar. Jeffrie meminta salah satu anak untuk membawakan Kelapa muda. Anak ini bernama Amdeus. Sehari-hari dia sudah biasa membawa parang. Iya, parang! hahaha. Selain Amadeus, kami juga berkenalan dengan 3 anak lain yang bernama Merry , Thomas, dan Steven. Pantai ini sangat amat eksotis, pasirnya pun putih bersih, dan tidak berombak tinggi. Benar-benar pas.
Pantai Marosi
Setelah dari Private Beach, kami mengunjungi 2 pantai lagi yakni Marosi dan terusan Marosi (katanya sih Marosi semua gitu karena Marosi ini panjang). Sebenarnya bukan karena Marosi jelek, namun karena kami sudah tertambat dengan Private Beach tadi makanya kami tidak terlalu antusias. Namun di Marosi kami melihat beberapa anak dan bule yang sedang surfing. Iya, ombak di Marosi cukup tinggi sehingga dapat digunakan untuk surfing. Di sini kami sempat bertemu dengan penduduk lokal yang memandikan kudanya. Sebelum itu, Yudi berminat untuk menaiki Kuda. Akhirnya... hahahaha.
Destinasi Hari 4
Setelah 3 hari menjelajah Sumba Barat Daya, Sumba Barat dan Sumba Tengah, Schedule kami hari ini menuju Sumba Timur. Pagi-pagi sekali kami Check out dari Oro Beach Resort dan bersiap berangkat dengan mobil dan Sopir baru. Kali ini kami menggunakan Avanza dan Alhamdulilah sudah ber AC. Hehehe, maklum lama-lama buka jendela bikin perut kembung kemasukan banyak angin.
Weikelo Sawah
Masih di Sumba Barat sebenarnya, dan searah dengan Lamboya, namun destinasi ini ditempatkan di hari ke 4 pagi sebelum menuju Sumba Timur. Merupakan pemandian dengan sumber air dari dalam gua. Karena air yang melimpah ini digunakan pula sebagai sumber irigasi untuk berhektar-hektar sawah. Airnya dinginnnn dan beninggg.
Padang Savana Sumba Timur
Perjalanan 6 jam dan rute yang berkelok-kelok benar-benar berasa hilang setelah melihat padang savana ini. Hufttt, berkali-kali Saya nyebut Subhanallah.... hahahaha. apa yang saya tampilkan di gambar ini benar-benar jauhhhhh dari apa yang mata saya lihat. Aslinya jauhhhh lebih cantik. Mungkin mata saya terlihat benar2 excited kali ya, sampai-sampai Driver kami yang baru bilang "kalo orang Jakarta foto-foto ya Mba, kalo kami sih Malas... sudah keseringan lihat". hahahaha. Disini pun kami rehat untuk makan siang. Meskipun lauk makan kami tidak seenak biasanya, namun pemandangan yang indah ini benar-benar menghapus semuanya (sedikit lebay, but whatever! hahaha)
Teluk Tarimbang dan Peter Magic Paradise
Perjalanan ke resort dan teluk ini benar-benar tidak mudah. sekitar 2 jam terakhir perjalanan kami diisi dengan jalan yang amburadul. Hahahaha. Kalau misal jalanannya mulus sih harusnya perjalanannya tidak sampai 2 jam. Peter Magic Paradise di miliki oleh Suami Istri (yang lagi-lagi beda kewarganegaraan di mana Istrinya asli Sumba yang bernama Ibu Yosni Suruk yang cantik dan eksotis dan suaminya dari Jerman yakni Dr Peter Kersten. Kebetulan kami tidak bisa bertemu Dr Peter dan hanya diterima oleh Ibu Yosni. Sepertinya ciri khas orang Sumba sendiri memang ramah, sama seperti mama Noni, Bu Yosni ini juga suka bercerita. Bu Yosni asli Sumba Tengah, namun dia bisa 4 bahasa Sumba dan sangat mengerti kebudayaan Sumba. Sebentar lagi di Sumba diadakan lomba untuk tour guide yang kebetulan diikuti juga oleh Jeffrie, dan Bu Yosni ini salah satu Jurinya. Kondisi di Peter Magic Paradise sedikit mencengangkan bagi kami. Seperti layaknya Resort di Sumba yang susah (atau tidak ada?) sinyal, di sinipun listrik pun juga susah. Bahkan colokan pun tak ada. Namun dengan view teluk Tarimbang dari Bungalaw kami, menurut kami itu sudah seimbang. Toh kami tidak butuh sinyal hp dan listrik saat itu. Selain itu, resort ini juga membuat kami terkaget-kaget dengan kondisi toiletnya. No! bukan kotor penuh serangga, kali ini toiletnya bersih, bersih banget! namun terbuka. Hahahaha. Yep, toilet ini berada di bawah teras bungalow yang menghadap ke alam langsung. Melihat kondisi resort ini membuat kami enggan untuk pergi ke Teluk, kami hanya ingin menikmati kopi dan view resort saja serta bercakap-cakap dengan Bu Yosni. Namun, Jeffrie berhasil mengajak kami untuk ke Teluk, hahahaa. Di teluk, tujuan kami sebenarnya mencari Sunset, namun gagal karena Teluk ini tertutup tebing. Namun pantulan sinar matahari di tebing tidak kalah indahnya dengan sunset itu sendiri. Berkali-kali kami diingatkan untuk tidak berenang di pantai karena adanay white shark. Ngeri! hehehehe.
Malam harinya adalah saat kami benar-benar bermain Uno. Sebelumnya kami selalu gagal bermain karena asyik ngobrol atau sudah kelelahan. Dan saya sebagai orang yang baru belajar malam itu sepertinya harus menerima kekalahan dengan telak. Hiks! Permainan Uno ini tidak biasa karena kami dipayungi dengan Bintang yang berjumlah milyaran! hahahaha. Rada hiperbola namun benar kaaannn?
Destinasi hari ke 5 (terakhir)
Huft, tidak terasa perjalanan Sumba Kami berakhir... hehehe. karena schedule kami cuma ke Bandara saja. Kali ini kami lewat Bandara Waingapu di Sumba Timur. Sumba benar-benar indah Kawan! Sayangnya kami hanya sedikit mencicipi Sumba Timur. Konon katanya, objek wisata di Sumba Timur memang lebih alami dan aksesnya lebih sulit. Mungkin suatu saat nanti Kami akan kembali ke Sumba dan diberikan kesempatan untuk menikmati Sumba Timur lebih dalam lagi. Semua foto di atas tidak menggunakan filter! yah paling ada sedikit adjustment di brightness nya di beberapa foto. Beberapa ya, sebagaian besar memang asli seperti itu. Mayoritas foto menggunakan kamera iphone 5 dan beberapa foto diambil dari kamera Sony punya Mba Mia. Dan sekali lagi, apa yang ditangkap kamera tidak bisa seindah dari yang ditangkap oleh mata. cieeee, omongan saya sesuatu abis! Salah satu yang benar2 Kalian perlu lihat sendiri adalah hamparan bintang di langit di Bungalow Peter's Magic Paradise. Hehehehe. Entah kapan Kami kembali ke Sumba, menurut Taufik Ismail,
Beri Daku Sumba
di Uzbekistan, ada padang terbuka dan berdebu
aneh, aku jadi ingat pada Umbu
Rinduku pada Sumba adalah rindu padang-padang terbuka
Di mana matahari membusur api di atas sana
Rinduku pada Sumba adalah rindu peternak perjaka
Bilamana peluh dan tenaga tanpa dihitung harga
Tanah rumput, topi rumput dan jerami bekas rumput
Kleneng genta, ringkik kuda dan teriakan gembala
Berdirilah di pesisir, matahari ‘kan terbit dari laut
Dan angin zat asam panas dikipas dari sana
Beri daku sepotong daging bakar, lenguh kerbau dan sapi malam hari
Beri daku sepucuk gitar, bossa nova dan tiga ekor kuda
Beri daku cuaca tropika, kering tanpa hujan ratusan hari
Beri daku ranah tanpa pagar, luas tak terkata, namanya Sumba
Rinduku pada Sumba adalah rindu seribu ekor kuda
Yang turun menggemuruh di kaki bukit-bukit yang jauh
Sementara langit bagai kain tenunan tangan, gelap coklat tua
Dan bola api, merah padam, membenam di ufuk teduh
Rinduku pada Sumba adalah rindu padang-padang terbuka
Di mana matahari bagai bola api, cuaca kering dan ternak melenguh
Rinduku pada Sumba adalah rindu seribu ekor kuda
Yang turun menggemuruh di kaki bukit-bukit yang jauh.
1970
aneh, aku jadi ingat pada Umbu
Rinduku pada Sumba adalah rindu padang-padang terbuka
Di mana matahari membusur api di atas sana
Rinduku pada Sumba adalah rindu peternak perjaka
Bilamana peluh dan tenaga tanpa dihitung harga
Tanah rumput, topi rumput dan jerami bekas rumput
Kleneng genta, ringkik kuda dan teriakan gembala
Berdirilah di pesisir, matahari ‘kan terbit dari laut
Dan angin zat asam panas dikipas dari sana
Beri daku sepotong daging bakar, lenguh kerbau dan sapi malam hari
Beri daku sepucuk gitar, bossa nova dan tiga ekor kuda
Beri daku cuaca tropika, kering tanpa hujan ratusan hari
Beri daku ranah tanpa pagar, luas tak terkata, namanya Sumba
Rinduku pada Sumba adalah rindu seribu ekor kuda
Yang turun menggemuruh di kaki bukit-bukit yang jauh
Sementara langit bagai kain tenunan tangan, gelap coklat tua
Dan bola api, merah padam, membenam di ufuk teduh
Rinduku pada Sumba adalah rindu padang-padang terbuka
Di mana matahari bagai bola api, cuaca kering dan ternak melenguh
Rinduku pada Sumba adalah rindu seribu ekor kuda
Yang turun menggemuruh di kaki bukit-bukit yang jauh.
1970
Sumba, untuk saya pribadi merupakan pembuktian. Pembuktian bahwa saya bisa achieve target ke NTT tahun ini. Hahaha, pembuktian bahwa saya bisa melakukan perjalanan dengan orang-orang baru yang baru saya kenal on the spot. Pembuktian sekali lagi bahwa saya dapat mendorong diri saya ke limitnya. Sumba memberikan kesederhanaan yang penuh keindahan. Sumba, sampai bertemu kembali!!!! Special Thanks to Mba Echa, Mba Mia, dan Yudi. see you another trip!!!
Slideshow Foto-Foto lain Trip Sumba bisa dilihat di :
Note :
Tarif Resort yang saya tempati menggunakan mata uang dolar.
Seluruh tempat wisata di Sumba gratis, namun untuk di kampung adat, diharapkan teman-teman membawa pinang dan sirih, karena menurut mereka pinang dan sirih adalah penghormatan. Makna pinang dan sirih ini adalah hidup yang diawali dengan kepahitan yang berakhir dengan manis. Selain itu diharap untuk memberikan donasi seikhlasnya dengan mengisi buku tamu.
Sebagian besar wilayah Sumba tidak menggunakan sambungan listrik dari Pemerintah. Listrik baru dapat dihidupkan setelah gelap.
Sinyal HP yang berfungsi di sana hanya Telkomsel dan Indosat.
Informasi Resort :
1. Sumba Cultural Conservation and Learning Institute : P. Robert Ramone (081339362164) atau email di ramone_cssr@yahoo.com di Lembaga Budaya Sumba Weetabula 87254 Sumba Barat Daya
2. Oro Beach Resort and Restaurant : Mama Noni/Lukas Wunsch (081339780610) www.oro-beachbungalows.com di Wee-Pangali Tambolaka 87254 Sumba Barat Daya
3. Peters Magic Paradise : Yosni Suruk/Dr. Peter Kersten 081246734245 www.peters-magic-paradise.com
Komentar
Terima kasih
Thank you.